Sabtu, 19 Februari 2011

Sejarah Tionghua masuk ke Kalimantan Barat

Sejak abad ketiga, pelaut Cina telah berlayar ke Indonesia untuk melakukan perdagangan. Rute pelayaran menyusuri pantai Asia Timur dan pulangnya melalui Kalimantan Barat dan Filipina dengan mempergunakan angin musim.
Pada abad ketujuh, hubungan Tiongkok dengan Kalimantan Barat sudah sering terjadi, tetapi belum menetap. Imigran dari Cina kemudian masuk ke Kerajaan Sambas dan Mempawah dan terorganisir dalam kongsi sosial politik yang berpusat di Monterado dan Bodok dalam Kerajaan Sambas dan Mandor dalam Kerajaan Mempawah.
Pasukan Khubilai Khan di bawah pimpinan Ike Meso, Shih Pi dan Khau Sing dalam perjalanannya untuk menghukum Kertanegara, singgah di kepulauan Karimata yang terletak berhadapan dengan Kerajaan Tanjungpura. Karena kekalahan pasukan ini dari angkatan perang Jawa dan takut mendapat hukuman dari Khubilai Khan, kemungkinan besar beberapa dari mereka melarikan diri dan menetap di Kalimantan Barat.
Pada tahun 1407, di Sambas didirikan Muslim/Hanafi - Chinese Community. Tahun 1463 laksamana Cheng Ho, seorang Hui dari Yunan, atas perintah Kaisar Cheng Tsu alias Jung Lo (kaisar keempat dinasti Ming) selama tujuh kali memimpin ekspedisi pelayaran ke Nan Yang. Beberapa anak buahnya ada yang kemudian menetap di Kalimantan Barat dan membaur dengan penduduk setempat. Mereka juga membawa ajaran Islam yang mereka anut.

Sejak Abad 17

Di abad ke-17 hijrah bangsa Cina ke Kalimantan Barat menempuh dua rute yakni melalui Indocina - Malaya - Kalimantan Barat dan Borneo Utara - Kalimantan Barat. Tahun 1745, orang Cina didatangkan besar-besaran untuk kepentingan perkongsian, karena Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah menggunakan tenaga-tenaga orang Cina sebagai wajib rodi dipekerjakan di tambang-tambang emas. Kedatangan mereka di Monterado membentuk kongsi Taikong (Parit Besar) dan Samto Kiaw (Tiga Jembatan).
Tahun 1770, orang-orang Cina perkongsian yang berpusat di Monterado dan Bodok berperang dengan suku Dayak yang menewaskan kepala suku Dayak di kedua daerah itu. Sultan Sambas kemudian menetapkan orang-orang Cina di kedua daerah tersebut hanya tunduk kepada Sultan dan wajib membayar upeti setiap bulan, bukan setiap tahun seperti sebelumnya. Tetapi mereka diberi kekuasaan mengatur pemerintahan, pengadilan, keamanan dan sebagainya. Semenjak itu timbullah Republik Kecil yang berpusat di Monterado dan orang Dayak pindah ke daerah yang aman dari orang Cina.
Pada Oktober 1771 kota Pontianak berdiri. Tahun 1772 datang seorang bernama Lo Fong (Pak) dari kampung Shak Shan Po, Kunyichu, Kanton membawa 100 keluarganya mendarat di Siantan, Pontianak Utara. Sebelumnya di Pontianak sudah ada kongsi Tszu Sjin dari suku Tio Ciu yang memandang Lo Fong sebagai orang penting. Mandor dan sekitarnya juga telah didiami suku Tio Ciu, terutama dari Tioyo dan Kityo. Daerah Mimbong didiami pekerja dari Kun-tsu dan Tai-pu. Seorang bernama Liu Kon Siong yang tinggal dengan lebih dari lima ratus keluarganya mengangkat dirinya sebagai Tai-Ko di sana. Di San Sim (Tengah-tengah Pegunungan) berdiam pekerja dari daerah Thai-Phu dan berada di bawah kekuasaan Tong A Tsoi sebagai Tai-Ko.
Lo Fong kemudian pindah ke Mandor dan membangun rumah untuk rakyat, majelis umum (Thong) serta pasar. Namun ia merasa tersaingi oleh Mao Yien yang memiliki pasar 220 pintu, terdiri dari 200 pintu pasar lama yang didiami masyarakat Tio Tjiu, Kti-Yo, Hai Fung dan Liuk Fung dengan Tai-Ko Ung Kui Peh dan 20 pintu pasar baru yang didiami masyarakat asal Kia Yin Tju dengan Tai-Ko Kong Mew Pak. Mao Yien juga mendirikan benteng Lan Fo (Anggrek Persatuan) dan mengangkat 4 pembantu dengan nama Lo-Man.
Lo Fong kemudian mengutus Liu Thoi Ni untuk membawa surat rahasia kepada Ung Kui Peh dan Kong Mew Pak, sehingga mereka terpaksa menyerah dan menggabungkan diri di bawah kekuasaan Lo Fong tanpa pertumpahan darah. Lo Fong kemudian juga merebut kekuasaan Tai-Ko Liu Kon Siong di daerah Min Bong (Benuang) sampai ke San King (Air Mati).

Sejak Abad 18

Lo Fong kemudian menguasai pertambangan emas Liu Kon Siong dan pertambangan perak Pangeran Sita dari Ngabang. Kekuasaan Lo Fong meliputi kerajaan Mempawah, Pontianak dan Landak dan disatukan pada tahun 1777 dengan nama Republik Lan Fong.
Tahun 1795 Lo Fong meninggal dunia dan dimakamkan di Sak Dja Mandor. Republik yang setiap tahun mengirim upeti kepada Kaisar Tiongkok ini pun bubar. Oleh orang Cina Mandor disebut Toeng Ban Lit (daerah timur dengan 1000 undang-undang .
Tahun 1795, berkobar pertempuran antara kongsi Tai-Kong yang berpusat di Monterado dengan kongsi Sam Tiu Kiu yang berpusat di Sambas karena pihak Sam Tiu Kiu melakukan penggalian emas di Sungai Raya Singkawang, daerah kekuasaan Tai-Kong. Tahun 1796, dengan bantuan kerajaan Sambas, kongsi Sam Tiu Kiu berhasil menguasai Monterado. Namun seorang panglima sultan bernama Tengku Sambo mati terbunuh ketika menyerbu benteng terakhir kongsi Tai Kong. Perang ini oleh rakyat Sambas disebut juga Perang Tengku Sambo.
Pada 6 September 1818 Belanda masuk ke Kerajaan Sambas. Tanggal 23 September Muller dilantik sebagai Pejabat Residen Sambas dan esoknya mengumumkan Monterado di bawah kekuasaan pemerintahan Belanda. Pada 28 November diadakan pula pertemuan dengan kepala-kepala kongsi dan orang-orang Cina di Sambas.
Tahun 1819, masyarakat Cina di Sambas dan Mandor memberontak dan tidak mengakui pemerintahan Belanda. Seribu orang dari Mandor menyerang kongsi Belanda di Pontianak.
Pada 22 September 1822 diumumkan hasil perundingan segitiga antara Sultan Pontianak, pemerintahan Belanda dan kepala-kepala kongsi Cina.
Namun pada 1823, setelah berhasil menguasai daerah Lara, Sin Ta Kiu (Sam Tiu Kiu), Sambas, kongsi Tai Kong mengadakan pemberontakan terhadap belanda karena merasa hasil perundingan merugikan pihaknya. Dengan bantuan Sam Tiu Kiu dan orang-orang Cina di Sambas, kongsi Tai Kong kemudian dipukul mundur ke Monterado.
Setelah gagal pada serangan kedua tanggal 28 Februari 1823, pada 5 Maret penduduk Cina yang memberontak menyatakan menyerah dan kemudian 11 Mei komisaris Belanda mengeluarkan peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban kongsi-kongsi.
Tahun 1850, kerajaan Sambas yang dipimpin Sultan Abubakar Tadjudin II hampir jatuh ke tangan perkongsian gabungan Tai Kong, Sam Tiu Kiu dan Mang Kit Tiu. Kerajaan Sambas meminta bantuan kepada Belanda. Tahun 1851, kompeni Belanda tiba dipimpin Overste Zorg yang kemudian gugur ketika perebutan benteng pusat pertahanan Sam Tiu Kiu di Seminis Pemangkat. Ia dimakamkan di bukit Penibungan, Pemangkat.

Setelah Abad 18

Tahun 1854 pemberontakan kian meluas dan didukung bangsa Cina yang di luar perkongsian. Belanda kemudian mengirimkan pasukan tambahan ke Sambas yang dipimpin Residen Anderson. Akhirnya pada 1856 Republik Monterado yang telah berdiri selama 100 tahun berhasil dikalahkan. Tanggal 4 Januari 1857 Belanda mengambil alih kekuasaan Cina di kerajaan Mempawah, dan tahun 1884 seluruh perkongsian Cina di Kalimantan Barat dibubarkan oleh Belanda.
Tahun 1914, bertepatan dengan Perang Dunia I, terjadi pemberontakan Sam Tiam (tiga mata, tiga kode, tiga cara). Pemberontakan di Monterado dipimpin oleh bekas keluarga Republik Monterado, sedangkan pemberontakan di Mempawah dipimpin oleh bekas keluarga Republik Lan Fong. Mereka juga dibantu oleh masyarakat Melayu dan Dayak yang dipaksa untuk ikut. Pemberontakan berakhir tahun 1916 dengan kemenangan di pihak Belanda. Belanda kemudian mendirikan tugu peringatan di Mandor bagi prajurit-prajuritnya yang gugur selama dua kali pemberontakan Cina (tahun 1854-1856 dan 1914-1916). Perang 1914-1916 dinamakan Perang Kenceng oleh masyarakat Kalimantan Barat.
Tahun 1921-1929 karena di Tiongkok (Cina) terjadi perang saudara, imigrasi besar-besaran orang Cina kembali terjadi dengan daerah tujuan Semenanjung Malaya, Serawak dan Kalimantan Barat.

Menelusuri Sejarah Etnis Tionghoa di Tangerang

Kota Tangerang mempunyai perjalanan sejarah tersendiri yang berhubungan dengan budaya Tionghoa. Kota yang dibelah oleh Sungai Cisadane ini, mempunyai kekhasan tersendiri menyangkut warga keturunan Tionghoanya, mereka dikenal dengan sebutan Cina Benteng. Kedatangannya sejak tahun 1700-an meninggalkan beberapa jejak penting yang sekarang masih dijaga kelestariannya.

Bersama dengan komunitas Historia, akhir Februari lalu penulis menyambangi beberapa situs budaya dan sejarah Tiong Hoa yang ada di kota Tangerang. Berkeliling menggunakan angkot, sambil ditemani udara panas Kota Tangerang, Perjalanan dimulai dari pukul sepuluh pagi hingga pukul tiga sore.

Klenteng Boen San Bio

Klenteng yang mempunyai nama lain Vihara Nimmala ini berada di kawasan Pasar Baru. Dengan usia 300 tahun, klenteng ini telah melalui berbagai perbaikan dan renovasi, terlebih sejak terjadinya kerusuhan 1998. Awalnya pada tahun 1689 klenteng ini hanyalah bangunan sederhana yang terdiri dari dinding Gedeg, tiang Bambu dan atap daun Rumbia.

Tepat bersebelahan dengan klenteng ini adalah Pura Kerta Jaya. Pura ini didirikan tahun 1988, kedua tempat ibadah ini merupakan gambaran toleransi akan keberagaman antar umat beragama di kota industri ini.

Klenteng Tjong Tek Bio dan Kampung Sewan Kongsi

Dari klenteng Boen San Bio, berlanjut ke klenteng Tjong Tek Bio. Nama lain dari klenteng ini adalah Vihara Maha Bodhi, berdiri pada tahun 1830, berada di daerah bernama Sewan Kongsi. Kampung Sewan sendiri berasal dari kata Sewaaan, wilayah kampung ini dulu disewakan kepada warga etnis Tionghoa untuk tempat tinggal dan berkebun.

Berada di dekat bendungan Pintu air 10, rumah – rumah di kampung ini masih banyak yang bergaya Tionghoa. Dengan pintu terletak di tengah diapit jendela, kusen bagian atas pintu selalu ditempelkan kertas berupa sajak dalam bahasa China yang biasa disebut Tuilian. Selain itu ada juga tulisan China yang ditulis diatas kertas berwarna merah atau kuning yang biasa disebut Hu, fungsinya sebagai penolak Bala.

Di belakang kampung ini,terlihat Bendungan Pintu Air 10 berdiri megah. Bendungan yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda ini dibangun pada tahun 1927 dan mulai dioperasikan pada tahun 1932. Disebut Bendungan Pintu Air 10 karena memang pada bendungan ini terdapat 10 buah pintu air yang dibuka tutup secara bergantian tergantung debit air sungai Cisadane. Bedungan ini dahulu berfungsi selain sebagai pengatur debit air sungai Cisadane juga sebagai sumber pengairan untuk 1.500 ha sawah kala itu.

Klenteng Tjo Su Bio dan kelenteng Boen tek Bio

Semakin siang, perjalanan dilanjutkan ke klenteng tua lainnya. Klenteng Tjo Su Bio berdiri pada tahun 1946, terletak di kampung Rawa Kucing . Tidak banyak yang istimewa dari klenteng ini, kecuali adanya patung Dewa Kera Sung Go Kong yang langsung jadi spot menarik untuk berfoto.

Lain dengan klenteng Boen Tek Bio, Boen berarti sastra, Tek artinya kebajikan dan bio artinya kelenteng. Tempat ini merupakan klenteng tertua di Kota Tangerang, berdiri pada tahun 1684. Dibangun atas atas bantuan secara gotong royong warga petak sembilan yang ada di Batavia. Di kompleks klenteng ini juga berdiri vihara Padumutara. Klenteng yang berada di kawasan Pasar Lama ini mempunyai tradisi selama ratusan tahun, yaitu ritual gotong Toapekong, patung –patung dewa dan perayaan Pe’cun. Lilin – lilin raksasa berdiri sebesar tubuh manusia di halaman depan, di sisi kiri dan kanan klenteng ini, terdapat ruang – ruang tempat berdoa dengan patung – patung dewa dewi yang berbeda – beda. Dewi Kwan Im adalah tuan rumah dari klenteng ini.

Dari klenteng tertua, kami pun beranjak menuju stasiun untuk kembali ke Jakarta. Puas rasanya berpanas –panas ria sambil menikmati warna – warni kelenteng, yang juga warna – warni kehidupan di Kota Tangerang.

Sejarah Suku Tionghoa di Bangka Belitung

Sejarah toleransi antarsuku, agama, ras, dan golongan di Kepulauan Bangka Belitung sudah terjalin sejak berabad-abad silam. Jalinan itu bermula dari kedatangan masyarakat China ke kepulauan itu, kemudian membaur bersama kelompok masyarakat Melayu, Jawa, Bugis, dan kelompok lain.

Penulis sejarah WP Goeneveldt, dalam buku Historical Notes on Indonesia and Malaya: Compiled from Chinese Source, menyebutkan, pembahasan tentang Pulau Bangka pernah ditulis dalam kitab klasik China, Hsing-cha Sheng-lan (tahun 1436). Diceritakan, Bangka Belitung merupakan wilayah kepulauan yang memiliki tradisi unik dan pemandangan indah dengan sungai-sungai dan tanah datar.

Sumber lain menyebutkan, komunitas China mulai menetap di Pulau Belitung tahun 1293. Saat akhir kejayaan Kerajaan Sriwijaya itu, rombongan kapal tentara China yang berlayar hendak menyerang Kerajaan Singasari, Jawa Timur, dihantam badai besar. Rombongan itu terdampar dan akhirnya menetap di Belitung. Pada abad ke-18 tentara China di bawah kepemimpinan Laksamana Cheng Ho juga sempat singgah di Pulau Belitung.

Kehadiran bangsa China secara besar-besaran di Kepulauan Bangka Belitung berawal dari penambangan timah pada awal abad ke-18. Mary F Somers Heidhues dalam Bangka Tin and Mentok Pepper memaparkan, ribuan pekerja asal China datang secara massal sebagai kuli kontrak di penambangan timah di Bangka dan Belitung tahun 1710.

Kuli kontrak itu umumnya berasal dari daerah utara Kwantung dan selatan Fukien, China, dan biasa disebut Hakka. Kadang, mereka dipanggil Xinke atau orang Khek. Selain itu, ada kaum Hokkian yang datang atas kemauan sendiri untuk berdagang. Kelompok lain yang datang adalah kelompok Hainan, Kanton, dan kelompok Techiu. Setiap kelompok memiliki bahasa sendiri-sendiri.

Sebagian kuli kontrak pulang kembali ke kampung halaman di China, sebagian lagi menetap di sejumlah kawasan di Pulau Belitung. Mereka yang tinggal rata-rata kaum lelaki dan akhirnya menikah dengan kaum perempuan lokal.

Menurut pengamat budaya asal Pangkalpinang, Willy Siswanto, sejarah ini memunculkan kesadaran bersama di antara masyarakat China dan Melayu serta kelompok lain di Bangka Belitung. Mereka sama-sama menyadari, kehidupan di kepulauan itu berangkat dari usaha timah. Kesadaran ini melahirkan kedekatan emosional dan ada perasaan senasib, tanpa memedulikan suku, ras, dan golongan.

Kesadaran itu lantas diturunkan dari generasi ke generasi, baik oleh masyarakat China, Melayu, maupun kelompok lain. Kebetulan sekali, kawasan Bangka Belitung tidak memiliki sejarah kerajaan besar yang mewariskan feodalisme-monarki sehingga tidak memicu budaya kelas. Tak ada stratifikasi sosial di kepulauan itu.

Meski ada ikatan sejarah, hubungan Melayu-Tionghoa di Bangka Belitung sebenarnya juga tak luput dari gesekan. Menurut Suhaimi Sulaiman, pada masa penjajahan Belanda, rasa iri terhadap orang-orang Tionghoa yang dianakemaskan oleh Belanda juga terjadi di wilayah kepulauan itu.

Namun, dalam perkembangannya, ketika Indonesia sudah merdeka, orang-orang Tionghoa di Bangka Belitung mulai berkolaborasi dengan orang-orang Melayu. ”Caranya ya itu tadi, mereka memberi berbagai kemudahan untuk orang Melayu,” kata Suhaimi.

Sejarah Masyarakat Tionghoa di Surabaya (1910-1946)

Komunitas Tionghoa yang tersebar di Indonesia merupakan komunitas yang masing-masing memiliki ciri khas dan tentunya memiliki sejarah tersendiri. Bahkan, sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya , Jaringan Asia menuliskan satu bab khusus ‘Warisan Cina’mengenai masuknya komunitas ini ke Jawa.
Komunitas Tionghoa tersebut dapat ditemui di hampir seluruh kota besar di Indonesia dengan variasi jumlah yang berbeda. Namun, tetap saja perlakuan terhadap mereka, sampai sekarang masih terasa diskriminatif dan dalam benak penduduk pribumi masih tersimpan stereotip yang memang sengaja dibuat sejak berabad-abad silam. Pun sejarah mencatat, peristiwa-peristiwa politis yang terjadi di Nusantara, mulai di masa VOC 1740 hingga reformasi 1998 selalu menyeret kelompok komunitas ini sebagai korban.
Salah satu kota besar tempat bermukim masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah Surabaya, Jawa Timur. Surabaya merupakan salah satu kota penting di Jawa dan salah satu kota tertua di Indonesia. Di masa kolonial, kota ini berkembang dan menjadi salah satu kota modern. Tidaklah mengherankan jika dalam satu buku panduan wisata dari awal abad ke-20 menyebutkan Surabaya sebagai pintu masuk di Jawa bagi para pelancong, di samping Batavia (Jakarta).
Awal abad ke-20, Surabaya berkembang menjadi kota dagang yang besar dan ramai. Hal ini dapat dilihat dari beragamnya masyarakat yang tinggal di kota tersebut. Dalam autobiografinya Soekarno menyebutkan Surabaya adalah kota pelabuhan yang sibuk dan ribut, lebih menyerupai kota New York. Pelabuhannya baik dan menjadi pusat perdagangan yang aktif. Surabaya juga menjadi kota tempat perlombaan dagang yang kuat dari orang-orang Tionghoa yang cerdas, ditambah arus yang besar dari para pelaut dan pedagang yang membawa berita-berita dari segala penjuru dunia.
Sebagai salah satu kelompok masyarakat yang datang dan menetap di Surabaya, jumlah orang Tionghoa semakin meningkat. Bila dibandingkan dengan kelompok imigran lain, Arab dan India, masyarakat Tionghoa menempati jumlah terbesar. Hal ini dapat dilihat dari data pada tahun 1920, penduduk Tionghoa di Surabaya berjumlah 18.020 orang, Arab 2.539 orang, dan etnik Timur Asing lainnya 165 orang.
Diangkat dari skripsi di jurusan sejarah Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada, buku Komunitas Tionghoa Surabaya (1910-1946) membahas masyarakat Tionghoa di Surabaya di masa kolonial yang dikaitkan dengan adanya gejolak sosial pada golongan Tionghoa. Penulis mencoba mengaitkan gejolak sosial masyarakat Tionghoa dengan kebijakan politik penguasa selama tiga masa.
Mulai dari pemerintah kolonial yang mengeluarkan peraturan yang membatasi gerak orang-orang Tionghoa seperti wijkenstelsel, passenstelsel (pas jalan), politierol (hal.69-79), peraturan masa pada pendudukan Jepang yang memerintahkan pada warga Tionghoa untuk menyediakan perempuan penghibur dari kalangan Tionghoa (hal.89) hingga berpuncak pada pemogokan selama 4 hari berturut-turut oleh pedagang dan pengusaha Tionghoa di Surabaya pada masa awal kemerdekaan 10 –13 Januari 1946. Pemogokan ini merupakan protes atas tingkah laku sewenang-wenang dan kambing hitam yang didasarkan pada diskriminasi rasial dalam penyediaan barang keperluan sehari-hari tentara dan personil pemerintahan pendudukan Sekutu. Pembahasan mengenai pemogokan ini secara lugas dapat dilihat pada bab 5 (hal.103-118) yang menjelaskan faktor-faktor yang mendorong terjadinya peristiwa pemogokan tersebut. Hanya saja dalam buku ini ada kesalahan cetak, tahun 1949 seharusnya dicetak 1946 (hal.103).
Secara khusus masyarakat Tionghoa di Surabaya dalam buku ini dibahas pada Bab 3 yang memuat keragaman asal usul yang terdiri dari berbagai suku bangsa, seperti Hokkian, Hakka, Teo-Chiu (hal.37-41), perbedaan antara orang Tionghoa totok (singkeh) dan peranakan (hal.41-45), ragam stratifikasi sosial (hal.45-48), agama dan kepercayaan (hal.48-50), organisasi-organisasi masyarakat Tionghoa (hal.50-54), jenis-jenis pekerjaan (hal.55-59), dan para pemimpin komunitas Tionghoa (hal.60-62).
Peraturan diskriminatif pada warga Tionghoa sebenarnya dapat ditelusuri ke belakang dengan melihat peraturan-peraturan yang dibuat berabad-abad lalu. Dalam Regeringsreglement tahun 1854, masyarakat Hindia Belanda dibagi dalam tiga golongan besar yaitu Europeanen (golongan orang Eropa), Vreemde Oosterlingen (Timur Asing), dan Inlander (pribumi). Pada pembagian secara rasial ini, orang Tionghoa dimasukkan dalam kelompok Timur Asing bersama orang India, Arab, dan Melayu. Pemisahan ini dimaksudkan untuk alasan keamanan. Mereka diharuskan mengenakan pakaian khas, ciri khas fisik kelompoknya masing-masing, seperti penggunaan thaucang (kuncir) bagi para pria Tionghoa. Khusus untuk istilah golongan Vreemde Oosterlingen merupakan pergeseran nama dari Vreemdelingen yang berlaku pada abad ke-17 dan ke-18.
Peraturan berikutnya adalah wijkenstelsel, pemusatan pemukiman orang Tionghoa, yang dikeluarkan pada tahun 1866 dan dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indië No 57. Peraturan ini menyebutkan bahwa para pejabat setempat menunjuk tempat-tempat yang dapat digunakan sebagai wilayah pemukiman orang Tionghoa dan Timur Asing lainnya. Lagi-lagi, peraturan ini untuk keamanan. Maksudnya, supaya orang-orang tersebut mudah diawasi. Bagi mereka yang melanggar dengan tetap tinggal di luar dari wilayah yang telah ditentukan, akan dikenakan sanksi penjara atau denda sebesar 25-100 gulden dengan diberi batas waktu tinggal. Di Surabaya, tempat yang ditunjuk sebagai wilayah pemukiman orang Tionghoa adalah di sebelah timur Jembatan Merah, daerah di sepanjang aliran Sungai Mas seperti Kapasa, Kembang Jepun, Panggoeng, Songoyudan, Bibis, dan Bongkaran. Wilayah Pecinan ini tepat berada di depan kantor residen Surabaya.
Disamping wijkenstelsel ada pula peraturan lain yaitu passenstelsel yang berlaku sejak 1816. Orang Tionghoa harus membawa kartu pas jalan jika hendak mengadakan perjalanan keluar daerah. Bagi mereka yang tidak mendaftarkan diri dan ketahuan tidak membawa kartu tersebut dalam perjalanan akan dikenai sanksi hukuman atau denda sebesar 10 gulden. Peraturan ini sangat merepotkan orang Tionghoa, terutama dalam hal mengembangkan perdagangan mereka. Hal itu karena prosedur yang sulit dan waktu pembuatan yang cukup lama.
Dalam hal peradilan, sejak 1848 bagi masyarakat Tionghoa berlaku peradilan politierol. Maksudnya suatu peradilan polisi dimana kepala polisi berhak bertindak sebagai hakim. Ia berhak memberi keputusan hukuman tanpa harus mendengarkan keterangan saksi terlebih dahulu. Jelas, dalam sistem ini unsur pemerasan dan ketidakadilan seringkali terjadi.
Perlakuan pemerintah Hindia Belanda tersebut menimbulkan semangat dan keinginan untuk menggalang persatuan di antara orang-orang Tionghoa perantauan, Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang dibentuk pada 1900, Siang Hwee (Kamar dagang Tionghoa) yang dibentuk pada 1907, serta Chung Hua Hui. THHK dan Siang Hwee di Surabaya merupakan cabang dari Batavia. Mereka memiliki paham bahwa orang Tionghoa perantauan memiliki musuh bersama yaitu orang Belanda dan Eropa yang harus dihadapi dengan menguatkan perasaan nasionalisme. Pemerintah Hindia Belanda menganggap hal tersebut cukup berbahaya sehingga mereka mulai melonggarkan aturan yang membatasi orang Tionghoa dengan imbalan gerakan nasionalisme di kalangan Tionghoa harus dibatasi dan dikekang.
Hasil ketelitian dan kecermatan penulis dalam menggali sumber tertulis maupun lisan menghasilkan satu kajian lokal peranan masyarakat Tionghoa pada awal abad ke-20 di salah satu kota besar di Indonesia. Suatu hal yang patut dihargai untuk lebih dapat memahami peranan sejarah hubungan komunitas Tionghoa dengan komunitas lainnya di Nusantara, seperti halnya penerbitan ulang buku Indonesia dalam Api dan Bara, karya Tjamboek Berdoeri (Kwee Thiam Tjing) yang menggambarkan situasi kota Malang tahun 1939 hingga 1947.
Terlepas dari uniknya sejarah masing-masing komunitas Tionghoa di Indonesia tampaknya mereka masih mendapat perlakuan diskriminatif, misalnya dalam Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Penghapusan diskriminasi setelah Keppres No 56 tahun 1996 dan Inpres No 4 tahun 1999 sepertinya tidak efektif. Hal tersebut mungkin karena tidak jelasnya siapa (baca: lembaga mana) yang harus melakukannya. Apakah hanya tugas Departemen Kehakiman dan HAM semata?
Akhirnya kita semua pun harus dapat belajar dari sejarah untuk tidak mengulangi prasangka rasis gila yang menurut seorang prajurit Belanda di awal abad ke-20 dalam Gedenkschrift van een oud koloniaal sebagai hal yang menggelikan dan ide tolol.

Sejarah Masyarakat Tionghoa di Bandung

Sejarah telah berkata bahwa bangsa China adalah bangsa yang ekspansif. Mereka menyebar ke berbagai belahan dunia, mulai dari ujung barat hingga ujung timur. Sifat ekspansif ini didorong oleh karakter budaya mereka sebagai pedagang. Sebutlah Jalur Sutra―rute perdagangan bangsa China kuno―yang termasyhur itu sebagai buktinya. Selain melalui darat, penyebaran mereka pun terjadi melalui laut. Salah satu tempat persebaran mereka adalah Indonesia.

Menurut catatan sejarah, bangsa China pertama kali datang ke Indonesia melalui ekspedisi Laksamana Haji Muhammad Cheng Hoo (1405-1433). Ketika itu Cheng Hoo berkeliling dunia untuk membuka jalur perdagangan sutra dan keramik. Cheng Hoo pun pernah menginjakkan kaki di Pulau Jawa. Sejak ekspedisi itu, berangsur-angsur bangsa China terus berdatangan dan membangun pecinan di beberapa daerah di Pulau Jawa, termasuk Bandung.

Sesuai dengan karakter budaya leluhur mereka, sebagian besar masyarakat Tionghoa (sebutan bagi masyarakat keturunan bangsa China di Indonesia) yang ada di Bandung pun melaksanakan kegiatan berdagang sebagai mata pencaharian mereka. Lokasi berdagang mereka tersebar di daerah-darah yang disebut dengan pecinan.

Kuncen Bandung, Haryoto Kunto, dalam Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (Granesia, 1984), menuturkan bahwa sebagian warga Tionghoa di Pulau Jawa pindah ke Bandung ketika terjadi perang Diponegoro (1825). Setiba di Bandung, sebagian besar dari mereka tinggal di kampung Suniaraja dan sekitar Jalan Pecinan Lama. Mereka kemudian menetap dan mencari nafkah disana.

Pada tahun 1885, mereka mulai menyebar ke Jalan Kelenteng. Pecinan di Jalan Kelenteng ditandai dengan pembangunan Vihara Satya Budhi. Menurut keterangan pengurus Vihara Satya Budhi, pecinan di Bandung seperti rumah-rumah toko pada umumnya, tak ada asesoris khusus seperti pecinan di daerah lain di Indonesia. Warganya pun beragam, tak hanya keturunan Tionghoa.

Pecinan berkembang pesat di sekitar Pasar Baru sejak 1905. Umumnya warga Tionghoa menjadi pedagang. Salah satunya, Tan Sioe How yang mendirikan kios jamu ”Babah Kuya” di Jalan Belakang Pasar pada tahun 1910. Bisa dikatakan, toko Babah Kuya merupakan salah satu perintis toko di kawasan ini. Selain Babah Kuya, warga Tionghoa lain pun banyak yang mendirikan kios.

Budayawan Tionghoa, Drs. Soeria Disastra, mengatakan bahwa pecinan memang ada, tapi tidak ada batasan. Maksudnya, hubungan warga Tionghoa dan Pribumi sekitar abad ke-19 dekat sekali. Akan tetapi, Belanda tidak senang melihat kedekatan itu. Belanda pun memisahkan Tionghoa dan pribumi dari segi ekonomi. Warga Tionghoa dijadikan perantara perekonomian bangsa Eropa dan pribumi. Mereka menjual rempah-rempah dari pribumi ke Belanda untuk di ekspor. Lama kelamaan kedekatan itu pun memudar.

Menurut Sie Tjoe Liong (75), generasi keempat pemilik kios ”Babah Kuya”, kawasan pecinan di Bandung terbentuk karena faktor politik. Warga pecinan tidak diizinkan berbaur dengan pribumi karna kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang memisahkan pemukiman orang asing dengan pribumi. Kebijakan itu tidak hanya untuk warga Tionghoa tetapi juga untuk Arab dan Eropa.

Selain di Pasar Baru, kawasan pecinan juga tumbuh di Suniaraja dan Citepus pada tahun 1914. Setiap pecinan dipimpin oleh Wijkmeester. Wijkmeester untuk daerah Suniaraja adalah Thung Pek Koey, sedangkan untuk daerah Citepus adalah Tan Nyim Coy. Wijkmeester dipimpin oleh seorang Luitennant der Chineeschen. Di Bandung, Luitennant-nya adalah Tan Djoen Liong (H. Buning, ”Maleische Almanak”, 1914). Para pemimpin Tionghoa itu diabadikan di beberapa tempat, misalnya di sekitar jalan Chinees-Wijk Citepus, ada pula Gang Goan Ann di Andir dan Jap Lun.

Sie Tjoe Liong menjelaskan, ketika peristiwa Bandung Lautan Api (1946). Kios-kios di Pasar Baru dibakar tentara Belanda. Wilayah Bandung terpisah menjadi bagian utara dan selatan. Kedua wilayah dibatasi rel kereta api yang membujur dari Cimahi hingga Kiaracondong. Wilayah utara dikuasai Belanda, sedangkan selatan oleh pribumi dan warga asing.

Akibat peristiwa itu, warga Tionghoa mengungsi ke kawasan Tegalega, Kosambi, Sudirman, dan Cimindi. Dengan demikian, dari Pasar Baru, kawasan pecinan meluas ke daerah-daerah tersebut. Warga Tionghoa dan pribumi pun bersatu kembali.

Belanda menyebut kawasan ini Groote Post Weg. Pada masa pemerintahan Orde Lama (1945-1968), pemerintah membatasi bidang ekonomi dan politik. Akan tetapi, menurut Soeria Disastra, dari segi kebudayaan pemerintah membuka pintu lebar-lebar. Lain lagi dengan pemerintahan Orde Baru (1968-1998), warga Tionghoa mengalami pembatasan di segala bidang, kecuali ekonomi. Lagi-lagi, jurang pemisah itu pun muncul lagi.

Akan tetapi, pada zaman Reformasi (1998-2008), kehidupan sudah lebih baik. Kebebasan yang diberikan mencakup hampir di segala bidang. ”Pengakuan Imlek sebagai libur nasional adalah hal yang sangat berarti bagi kami,” kata Soeria.

Saat ini, daerah Pecinan di Bandung semakin luas meliputi Jalan Pasar Baru, Jalan ABC, Jalan Banceuy, Jalan Gardu Jati, Jalan Cibadak, dan Jalan Pecinan Bandung. Sie Tjoe Liong berpesan agar warga pribumi dan Tionghoa tetap akur. ”Sekarang mah ga ada pecinan teh. Sudah berbaur. Interaksi antara warga Tionghoa dan pribumi telah berlangsung lama. Kita adalah bangsa Indonesia,” kata dia.

Sejarah Cina Benteng

Akulturasi Cina Benteng, Wajah Lain Indonesia

TIDAK seperti Cina peranakan pada umumnya, Ong Gian (47) berkulit gelap. Matanya pun tidak sipit. Sehari-hari ia bekerja sebagai petani di Neglasari, Tangerang. Selain itu, ia juga awak kelompok kesenian gambang kromong yang sering tampil di acara-acara hajatan perkawinan.

Nenek moyangnya adalah Cina Hokkian yang datang ke Tangerang dan tinggal turun- temurun di kawasan Pasar Lama. Mereka masuk dengan perahu melalui Sungai Cisadane sejak lebih 300 tahun silam.

Cina Benteng memang selalu diidentifikasi dengan stereotip orang Cina berkulit hitam atau gelap, jagoan bela diri, dan hidupnya pas-pasan atau malah miskin. Sampai sekarang, ternyata mereka juga tetap miskin meski sudah jarang yang jago bela diri.

Meski ada beberapa yang sudah berhasil sebagai pedagang, sebagian besar Cina Benteng hidup sebagai petani, peternak, nelayan. Bahkan, ada juga pengayuh becak.

SEJARAH Cina Tangerang memang sulit dipisahkan dengan kawasan Pasar Lama (Jalan Ki Samaun dan sekitarnya) yang berada di tepi sungai dan merupakan permukiman pertama masyarakat Cina di sana. Struktur tata ruangnya sangat baik dan itu merupakan cikal-bakal Kota Tangerang. Mereka tinggal di tiga gang, yang sekarang dikenal sebagai Gang Kalipasir, Gang Tengah (Cirarab), dan Gang Gula (Cilangkap). Sayangnya, sekarang tinggal sedikit saja bangunan yang masih berciri khas pecinan.

Pada akhir tahun 1800-an, sejumlah orang Cina dipindahkan ke kawasan Pasar Baru dan sejak itu mulai menyebar ke daerah-daerah lainnya. Menurut Tagara Wijaya, yang bernama asli Oey Tjie Hoeng (77), yang menjabat Ketua Umum Klenteng Boen Sen Bio (1967-1978), Pasar Baru pada tempo dulu merupakan tempat transaksi (sistem barter) barang orang- orang Cina yang datang lewat sungai dengan penduduk lokal.

Mengenai asal-usul kata Cina Benteng, menurut sinolog dari Universitas Indonesia, Eddy Prabowo Witanto MA, tidak terlepas dari kehadiran Benteng Makassar. Benteng yang dibangun pada zaman kolonial Belanda itu-sekarang sudah rata dengan tanah-terletak di tepi Sungai Cisadane, di pusat Kota Tangerang.

Pada saat itu, kata Eddy, banyak orang Cina Tangerang yang kurang mampu tinggal di luar Benteng Makassar. Mereka terkonsentrasi di daerah sebelah utara, yaitu di Sewan dan Kampung Melayu. Mereka berdiam di sana sejak tahun 1700-an. Dari sanalah muncul, istilah “Cina Benteng”.

Tahun 1740, terjadi pemberontakan orang Cina menyusul keputusan Gubernur Jenderal Valkenier untuk menangkapi orang-orang Cina yang dicurigai. Mereka akan dikirim ke Sri Lanka untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan milik VOC.

Pemberontakan itu dibalas serangan serdadu kompeni ke perkampungan-perkampungan Cina di Batavia (Jakarta). Sedikitnya 10.000 orang tewas dan sejak itu banyak orang Cina mengungsi untuk mencari tempat baru di daerah Tangerang, seperti Mauk, Serpong, Cisoka, Legok, dan bahkan sampai Parung di daerah Bogor.

Itulah sebabnya banyak orang Cina yang tinggal di pedesaan di pelosok Tangerang-di luar pecinan di Pasar Lama dan Pasar Baru.

Meski demikian, menurut pemerhati budaya Cina Indonesia, David Kwa, mereka yang tinggal di luar Pasar Lama dan Pasar Baru itu tetap disebut sebagai Cina Benteng.

Sebagai kawasan permukiman Cina, di Pasar Lama dibangun kelenteng tertua, Boen Tek Bio, yang didirikan tahun 1684 dan merupakan bangunan paling tua di Tangerang. Lima tahun kemudian, 1869, di Pasar Baru dibangun kelenteng Boen San Bio (Nimmala).

Kedua kelenteng itulah saksi sejarah bahwa orang-orang Cina sudah berdiam di Tangerang lebih dari tiga abad silam.

Dalam penelitiannya, sarjana Seni Rupa dan Desain ITB Jurusan Desain Komunikasi Visual, Y Sherly Marianne, antara lain menyebutkan, sekitar 80 persen dari 19.191 warga Kelurahan Sukasari di Kotamadya Tangerang adalah orang Cina Benteng. Angka statistik April 2002 ini tidaklah mengherankan karena Pasar Lama masuk dalam wilayah Sukasari.

Menurut Sherly, kehidupan masyarakat Cina Benteng memang keras agar bisa bertahan hidup. Sebab, sebagian besar pekerjaan mereka bukan dalam bidang ekonomi, tetapi sebagai petani di pedesaan.

YANG unik dari masyarakat Cina Benteng adalah bahwa mereka sudah berakulturasi dan beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan lokal. Dalam percakapan sehari-hari, misalnya, mereka sudah tidak dapat lagi berbahasa Cina. Logat mereka bahkan sudah sangat Sunda pinggiran bercampur Betawi. Ini sangat berbeda dengan masyarakat Cina Singkawang, Kalimantan Barat, yang berbahasa ina meskipun hidup kesehariannya juga banyak yang petani miskin.

Logat Cina Benteng memang khas. Ketika mengucapkan kalimat, “Mau ke mana”, misalnya, kata “na” diucapkan lebih panjang sehingga terdengar “mau kemanaaaa”.

Di bidang kesenian, mereka memainkan musik gambang kromong yang merupakan bentuk lain akulturasi masyarakat Cina Benteng. Sebab, gambang kromong selalu dimainkan dalam pesta-pesta perkawinan, umumnya diwarnai tari cokek yang sebenarnya merupakan budaya tayub masyarakat Sunda pesisir seperti Indramayu.

Meski demikian, masyarakat Cina Benteng masih mempertahankan dan melestarikan adat istiadat nenek moyang mereka yang sudah ratusan tahun. Ini terlihat pada tata cara upacara perkawinan dan kematian. Salah satunya tampak pada keberadaan “Meja Abu” di setiap rumah orang Cina Benteng.

“Tidak usah dipertentangkan. Realitasnya, masyarakat Cina Benteng memang sudah berakulturasi dengan lingkungan lokal, tapi mereka juga masih memegang adat istiadat kepercayaan nenek moyang dan leluhur mereka,” kata Eddy.

Beberapa tradisi leluhur yang masih dipertahankan antara lain Cap Go Meh (perayaan 15 hari setelah Imlek), Pek Cun, Tiong Ciu Pia (kue bulan), dan Pek Gwee Cap Go (hari kesempurnaan).

Demikian pula panggilan encek, encim, dan engkong masih digunakan sebagai tanda hormat kepada orang yang lebih tua. “Juga salam (pai) tetap dipertahankan dalam keluarga Cina Benteng pada saat bertemu dengan orang lain,” kata Asiuntapura Markum (55) yang lahir di Tangerang.

Yang khas dari masyarakat Cina Benteng adalah pakaian pengantin yang merupakan campuran budaya Cina dan Betawi. Pakaian pengantin laki-laki, kata Eddy, merupakan pakaian kebesaran Dinasti Ching, seperti terlihat dari topinya, sedangkan pakaian pengantin perempuan hasil akulturasi Cina-Betawi yang tampak pada kembang goyang.

SECARA ekonomi, masyarakat tradisional Cina Benteng hidup pas-pasan sebagai petani, peternak, nelayan, buruh kecil, dan pedagang kecil.

Ny Kenny atau Lim Keng Nio (48) yang tinggal di Gang Cilangkap RT 03 RW 02, Kelurahan Sukasari, Tangerang, misalnya, setiap hari harus bangun pagi-pagi untuk membawa dagangan kue ke pasar. Ong Gian, petani sawah di Neglasari yang nyambi menjadi pemain musik gambang kromong, juga harus bekerja keras untuk bisa mempertahankan hidup.

Fenomena Cina Benteng, kata Eddy, merupakan bukti nyata betapa harmonisnya kebudayaan Cina dengan kebudayaan lokal. Lebih dari itu, keberadaan Cina Benteng seakan menegaskan bahwa tidak semua orang Cina memiliki posisi kuat dalam bidang ekonomi. Dengan keluguannya, mereka bahkan tak punya akses politik yang mendukung posisinya di bidang ekonomi.

David Kwa lebih melihat fenomena Cina Benteng sebagai contoh dan bukti nyata proses pembauran yang terjadi secara alamiah. Masyarakat Cina Benteng hampir tidak pernah mengalami friksi dengan etnis lainnya. Kenyataan ini membuat David yakin, persoalan sentimen etnis lebih bernuansa politis yang dikembangkan oleh orang-orang yang punya kepentingan politik.

Realitas Cina Benteng yang tinggal di pusat kekuasaan politik dan ekonomi menunjukkan, masyarakat etnis Cina sesungguhnya sama dengan etnis lainnya. Ada yang punya banyak uang, tetapi ada pula yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Bahkan, Ridwan Saidi, pengamat budaya dari Betawi, melihat realitas Cina Benteng sebagai wajah lain Indonesia. Ada yang kaya, tetapi tidak sedikit pula yang miskin.

Bagi mereka, wajar kalau perayaan Tahun Baru Imlek menjadi pengharapan agar rezeki di tahun baru ini lebih baik dari tahun sebelumnya. Wajar pula bahwa meski sudah berakulturasi begitu dalam, mereka tetap membeli bunga sedap malam dan bersembahyang di kelenteng-kelenteng.