Komunitas Tionghoa yang tersebar di Indonesia merupakan komunitas yang masing-masing memiliki ciri khas dan tentunya memiliki sejarah tersendiri. Bahkan, sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya , Jaringan Asia menuliskan satu bab khusus ‘Warisan Cina’mengenai masuknya komunitas ini ke Jawa.
Komunitas Tionghoa tersebut dapat ditemui di hampir seluruh kota besar di Indonesia dengan variasi jumlah yang berbeda. Namun, tetap saja perlakuan terhadap mereka, sampai sekarang masih terasa diskriminatif dan dalam benak penduduk pribumi masih tersimpan stereotip yang memang sengaja dibuat sejak berabad-abad silam. Pun sejarah mencatat, peristiwa-peristiwa politis yang terjadi di Nusantara, mulai di masa VOC 1740 hingga reformasi 1998 selalu menyeret kelompok komunitas ini sebagai korban.
Salah satu kota besar tempat bermukim masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah Surabaya, Jawa Timur. Surabaya merupakan salah satu kota penting di Jawa dan salah satu kota tertua di Indonesia. Di masa kolonial, kota ini berkembang dan menjadi salah satu kota modern. Tidaklah mengherankan jika dalam satu buku panduan wisata dari awal abad ke-20 menyebutkan Surabaya sebagai pintu masuk di Jawa bagi para pelancong, di samping Batavia (Jakarta).
Awal abad ke-20, Surabaya berkembang menjadi kota dagang yang besar dan ramai. Hal ini dapat dilihat dari beragamnya masyarakat yang tinggal di kota tersebut. Dalam autobiografinya Soekarno menyebutkan Surabaya adalah kota pelabuhan yang sibuk dan ribut, lebih menyerupai kota New York. Pelabuhannya baik dan menjadi pusat perdagangan yang aktif. Surabaya juga menjadi kota tempat perlombaan dagang yang kuat dari orang-orang Tionghoa yang cerdas, ditambah arus yang besar dari para pelaut dan pedagang yang membawa berita-berita dari segala penjuru dunia.
Sebagai salah satu kelompok masyarakat yang datang dan menetap di Surabaya, jumlah orang Tionghoa semakin meningkat. Bila dibandingkan dengan kelompok imigran lain, Arab dan India, masyarakat Tionghoa menempati jumlah terbesar. Hal ini dapat dilihat dari data pada tahun 1920, penduduk Tionghoa di Surabaya berjumlah 18.020 orang, Arab 2.539 orang, dan etnik Timur Asing lainnya 165 orang.
Diangkat dari skripsi di jurusan sejarah Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada, buku Komunitas Tionghoa Surabaya (1910-1946) membahas masyarakat Tionghoa di Surabaya di masa kolonial yang dikaitkan dengan adanya gejolak sosial pada golongan Tionghoa. Penulis mencoba mengaitkan gejolak sosial masyarakat Tionghoa dengan kebijakan politik penguasa selama tiga masa.
Mulai dari pemerintah kolonial yang mengeluarkan peraturan yang membatasi gerak orang-orang Tionghoa seperti wijkenstelsel, passenstelsel (pas jalan), politierol (hal.69-79), peraturan masa pada pendudukan Jepang yang memerintahkan pada warga Tionghoa untuk menyediakan perempuan penghibur dari kalangan Tionghoa (hal.89) hingga berpuncak pada pemogokan selama 4 hari berturut-turut oleh pedagang dan pengusaha Tionghoa di Surabaya pada masa awal kemerdekaan 10 –13 Januari 1946. Pemogokan ini merupakan protes atas tingkah laku sewenang-wenang dan kambing hitam yang didasarkan pada diskriminasi rasial dalam penyediaan barang keperluan sehari-hari tentara dan personil pemerintahan pendudukan Sekutu. Pembahasan mengenai pemogokan ini secara lugas dapat dilihat pada bab 5 (hal.103-118) yang menjelaskan faktor-faktor yang mendorong terjadinya peristiwa pemogokan tersebut. Hanya saja dalam buku ini ada kesalahan cetak, tahun 1949 seharusnya dicetak 1946 (hal.103).
Secara khusus masyarakat Tionghoa di Surabaya dalam buku ini dibahas pada Bab 3 yang memuat keragaman asal usul yang terdiri dari berbagai suku bangsa, seperti Hokkian, Hakka, Teo-Chiu (hal.37-41), perbedaan antara orang Tionghoa totok (singkeh) dan peranakan (hal.41-45), ragam stratifikasi sosial (hal.45-48), agama dan kepercayaan (hal.48-50), organisasi-organisasi masyarakat Tionghoa (hal.50-54), jenis-jenis pekerjaan (hal.55-59), dan para pemimpin komunitas Tionghoa (hal.60-62).
Peraturan diskriminatif pada warga Tionghoa sebenarnya dapat ditelusuri ke belakang dengan melihat peraturan-peraturan yang dibuat berabad-abad lalu. Dalam Regeringsreglement tahun 1854, masyarakat Hindia Belanda dibagi dalam tiga golongan besar yaitu Europeanen (golongan orang Eropa), Vreemde Oosterlingen (Timur Asing), dan Inlander (pribumi). Pada pembagian secara rasial ini, orang Tionghoa dimasukkan dalam kelompok Timur Asing bersama orang India, Arab, dan Melayu. Pemisahan ini dimaksudkan untuk alasan keamanan. Mereka diharuskan mengenakan pakaian khas, ciri khas fisik kelompoknya masing-masing, seperti penggunaan thaucang (kuncir) bagi para pria Tionghoa. Khusus untuk istilah golongan Vreemde Oosterlingen merupakan pergeseran nama dari Vreemdelingen yang berlaku pada abad ke-17 dan ke-18.
Peraturan berikutnya adalah wijkenstelsel, pemusatan pemukiman orang Tionghoa, yang dikeluarkan pada tahun 1866 dan dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indië No 57. Peraturan ini menyebutkan bahwa para pejabat setempat menunjuk tempat-tempat yang dapat digunakan sebagai wilayah pemukiman orang Tionghoa dan Timur Asing lainnya. Lagi-lagi, peraturan ini untuk keamanan. Maksudnya, supaya orang-orang tersebut mudah diawasi. Bagi mereka yang melanggar dengan tetap tinggal di luar dari wilayah yang telah ditentukan, akan dikenakan sanksi penjara atau denda sebesar 25-100 gulden dengan diberi batas waktu tinggal. Di Surabaya, tempat yang ditunjuk sebagai wilayah pemukiman orang Tionghoa adalah di sebelah timur Jembatan Merah, daerah di sepanjang aliran Sungai Mas seperti Kapasa, Kembang Jepun, Panggoeng, Songoyudan, Bibis, dan Bongkaran. Wilayah Pecinan ini tepat berada di depan kantor residen Surabaya.
Disamping wijkenstelsel ada pula peraturan lain yaitu passenstelsel yang berlaku sejak 1816. Orang Tionghoa harus membawa kartu pas jalan jika hendak mengadakan perjalanan keluar daerah. Bagi mereka yang tidak mendaftarkan diri dan ketahuan tidak membawa kartu tersebut dalam perjalanan akan dikenai sanksi hukuman atau denda sebesar 10 gulden. Peraturan ini sangat merepotkan orang Tionghoa, terutama dalam hal mengembangkan perdagangan mereka. Hal itu karena prosedur yang sulit dan waktu pembuatan yang cukup lama.
Dalam hal peradilan, sejak 1848 bagi masyarakat Tionghoa berlaku peradilan politierol. Maksudnya suatu peradilan polisi dimana kepala polisi berhak bertindak sebagai hakim. Ia berhak memberi keputusan hukuman tanpa harus mendengarkan keterangan saksi terlebih dahulu. Jelas, dalam sistem ini unsur pemerasan dan ketidakadilan seringkali terjadi.
Perlakuan pemerintah Hindia Belanda tersebut menimbulkan semangat dan keinginan untuk menggalang persatuan di antara orang-orang Tionghoa perantauan, Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang dibentuk pada 1900, Siang Hwee (Kamar dagang Tionghoa) yang dibentuk pada 1907, serta Chung Hua Hui. THHK dan Siang Hwee di Surabaya merupakan cabang dari Batavia. Mereka memiliki paham bahwa orang Tionghoa perantauan memiliki musuh bersama yaitu orang Belanda dan Eropa yang harus dihadapi dengan menguatkan perasaan nasionalisme. Pemerintah Hindia Belanda menganggap hal tersebut cukup berbahaya sehingga mereka mulai melonggarkan aturan yang membatasi orang Tionghoa dengan imbalan gerakan nasionalisme di kalangan Tionghoa harus dibatasi dan dikekang.
Hasil ketelitian dan kecermatan penulis dalam menggali sumber tertulis maupun lisan menghasilkan satu kajian lokal peranan masyarakat Tionghoa pada awal abad ke-20 di salah satu kota besar di Indonesia. Suatu hal yang patut dihargai untuk lebih dapat memahami peranan sejarah hubungan komunitas Tionghoa dengan komunitas lainnya di Nusantara, seperti halnya penerbitan ulang buku Indonesia dalam Api dan Bara, karya Tjamboek Berdoeri (Kwee Thiam Tjing) yang menggambarkan situasi kota Malang tahun 1939 hingga 1947.
Terlepas dari uniknya sejarah masing-masing komunitas Tionghoa di Indonesia tampaknya mereka masih mendapat perlakuan diskriminatif, misalnya dalam Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Penghapusan diskriminasi setelah Keppres No 56 tahun 1996 dan Inpres No 4 tahun 1999 sepertinya tidak efektif. Hal tersebut mungkin karena tidak jelasnya siapa (baca: lembaga mana) yang harus melakukannya. Apakah hanya tugas Departemen Kehakiman dan HAM semata?
Akhirnya kita semua pun harus dapat belajar dari sejarah untuk tidak mengulangi prasangka rasis gila yang menurut seorang prajurit Belanda di awal abad ke-20 dalam Gedenkschrift van een oud koloniaal sebagai hal yang menggelikan dan ide tolol.
Komunitas Tionghoa tersebut dapat ditemui di hampir seluruh kota besar di Indonesia dengan variasi jumlah yang berbeda. Namun, tetap saja perlakuan terhadap mereka, sampai sekarang masih terasa diskriminatif dan dalam benak penduduk pribumi masih tersimpan stereotip yang memang sengaja dibuat sejak berabad-abad silam. Pun sejarah mencatat, peristiwa-peristiwa politis yang terjadi di Nusantara, mulai di masa VOC 1740 hingga reformasi 1998 selalu menyeret kelompok komunitas ini sebagai korban.
Salah satu kota besar tempat bermukim masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah Surabaya, Jawa Timur. Surabaya merupakan salah satu kota penting di Jawa dan salah satu kota tertua di Indonesia. Di masa kolonial, kota ini berkembang dan menjadi salah satu kota modern. Tidaklah mengherankan jika dalam satu buku panduan wisata dari awal abad ke-20 menyebutkan Surabaya sebagai pintu masuk di Jawa bagi para pelancong, di samping Batavia (Jakarta).
Awal abad ke-20, Surabaya berkembang menjadi kota dagang yang besar dan ramai. Hal ini dapat dilihat dari beragamnya masyarakat yang tinggal di kota tersebut. Dalam autobiografinya Soekarno menyebutkan Surabaya adalah kota pelabuhan yang sibuk dan ribut, lebih menyerupai kota New York. Pelabuhannya baik dan menjadi pusat perdagangan yang aktif. Surabaya juga menjadi kota tempat perlombaan dagang yang kuat dari orang-orang Tionghoa yang cerdas, ditambah arus yang besar dari para pelaut dan pedagang yang membawa berita-berita dari segala penjuru dunia.
Sebagai salah satu kelompok masyarakat yang datang dan menetap di Surabaya, jumlah orang Tionghoa semakin meningkat. Bila dibandingkan dengan kelompok imigran lain, Arab dan India, masyarakat Tionghoa menempati jumlah terbesar. Hal ini dapat dilihat dari data pada tahun 1920, penduduk Tionghoa di Surabaya berjumlah 18.020 orang, Arab 2.539 orang, dan etnik Timur Asing lainnya 165 orang.
Diangkat dari skripsi di jurusan sejarah Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada, buku Komunitas Tionghoa Surabaya (1910-1946) membahas masyarakat Tionghoa di Surabaya di masa kolonial yang dikaitkan dengan adanya gejolak sosial pada golongan Tionghoa. Penulis mencoba mengaitkan gejolak sosial masyarakat Tionghoa dengan kebijakan politik penguasa selama tiga masa.
Mulai dari pemerintah kolonial yang mengeluarkan peraturan yang membatasi gerak orang-orang Tionghoa seperti wijkenstelsel, passenstelsel (pas jalan), politierol (hal.69-79), peraturan masa pada pendudukan Jepang yang memerintahkan pada warga Tionghoa untuk menyediakan perempuan penghibur dari kalangan Tionghoa (hal.89) hingga berpuncak pada pemogokan selama 4 hari berturut-turut oleh pedagang dan pengusaha Tionghoa di Surabaya pada masa awal kemerdekaan 10 –13 Januari 1946. Pemogokan ini merupakan protes atas tingkah laku sewenang-wenang dan kambing hitam yang didasarkan pada diskriminasi rasial dalam penyediaan barang keperluan sehari-hari tentara dan personil pemerintahan pendudukan Sekutu. Pembahasan mengenai pemogokan ini secara lugas dapat dilihat pada bab 5 (hal.103-118) yang menjelaskan faktor-faktor yang mendorong terjadinya peristiwa pemogokan tersebut. Hanya saja dalam buku ini ada kesalahan cetak, tahun 1949 seharusnya dicetak 1946 (hal.103).
Secara khusus masyarakat Tionghoa di Surabaya dalam buku ini dibahas pada Bab 3 yang memuat keragaman asal usul yang terdiri dari berbagai suku bangsa, seperti Hokkian, Hakka, Teo-Chiu (hal.37-41), perbedaan antara orang Tionghoa totok (singkeh) dan peranakan (hal.41-45), ragam stratifikasi sosial (hal.45-48), agama dan kepercayaan (hal.48-50), organisasi-organisasi masyarakat Tionghoa (hal.50-54), jenis-jenis pekerjaan (hal.55-59), dan para pemimpin komunitas Tionghoa (hal.60-62).
Peraturan diskriminatif pada warga Tionghoa sebenarnya dapat ditelusuri ke belakang dengan melihat peraturan-peraturan yang dibuat berabad-abad lalu. Dalam Regeringsreglement tahun 1854, masyarakat Hindia Belanda dibagi dalam tiga golongan besar yaitu Europeanen (golongan orang Eropa), Vreemde Oosterlingen (Timur Asing), dan Inlander (pribumi). Pada pembagian secara rasial ini, orang Tionghoa dimasukkan dalam kelompok Timur Asing bersama orang India, Arab, dan Melayu. Pemisahan ini dimaksudkan untuk alasan keamanan. Mereka diharuskan mengenakan pakaian khas, ciri khas fisik kelompoknya masing-masing, seperti penggunaan thaucang (kuncir) bagi para pria Tionghoa. Khusus untuk istilah golongan Vreemde Oosterlingen merupakan pergeseran nama dari Vreemdelingen yang berlaku pada abad ke-17 dan ke-18.
Peraturan berikutnya adalah wijkenstelsel, pemusatan pemukiman orang Tionghoa, yang dikeluarkan pada tahun 1866 dan dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indië No 57. Peraturan ini menyebutkan bahwa para pejabat setempat menunjuk tempat-tempat yang dapat digunakan sebagai wilayah pemukiman orang Tionghoa dan Timur Asing lainnya. Lagi-lagi, peraturan ini untuk keamanan. Maksudnya, supaya orang-orang tersebut mudah diawasi. Bagi mereka yang melanggar dengan tetap tinggal di luar dari wilayah yang telah ditentukan, akan dikenakan sanksi penjara atau denda sebesar 25-100 gulden dengan diberi batas waktu tinggal. Di Surabaya, tempat yang ditunjuk sebagai wilayah pemukiman orang Tionghoa adalah di sebelah timur Jembatan Merah, daerah di sepanjang aliran Sungai Mas seperti Kapasa, Kembang Jepun, Panggoeng, Songoyudan, Bibis, dan Bongkaran. Wilayah Pecinan ini tepat berada di depan kantor residen Surabaya.
Disamping wijkenstelsel ada pula peraturan lain yaitu passenstelsel yang berlaku sejak 1816. Orang Tionghoa harus membawa kartu pas jalan jika hendak mengadakan perjalanan keluar daerah. Bagi mereka yang tidak mendaftarkan diri dan ketahuan tidak membawa kartu tersebut dalam perjalanan akan dikenai sanksi hukuman atau denda sebesar 10 gulden. Peraturan ini sangat merepotkan orang Tionghoa, terutama dalam hal mengembangkan perdagangan mereka. Hal itu karena prosedur yang sulit dan waktu pembuatan yang cukup lama.
Dalam hal peradilan, sejak 1848 bagi masyarakat Tionghoa berlaku peradilan politierol. Maksudnya suatu peradilan polisi dimana kepala polisi berhak bertindak sebagai hakim. Ia berhak memberi keputusan hukuman tanpa harus mendengarkan keterangan saksi terlebih dahulu. Jelas, dalam sistem ini unsur pemerasan dan ketidakadilan seringkali terjadi.
Perlakuan pemerintah Hindia Belanda tersebut menimbulkan semangat dan keinginan untuk menggalang persatuan di antara orang-orang Tionghoa perantauan, Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang dibentuk pada 1900, Siang Hwee (Kamar dagang Tionghoa) yang dibentuk pada 1907, serta Chung Hua Hui. THHK dan Siang Hwee di Surabaya merupakan cabang dari Batavia. Mereka memiliki paham bahwa orang Tionghoa perantauan memiliki musuh bersama yaitu orang Belanda dan Eropa yang harus dihadapi dengan menguatkan perasaan nasionalisme. Pemerintah Hindia Belanda menganggap hal tersebut cukup berbahaya sehingga mereka mulai melonggarkan aturan yang membatasi orang Tionghoa dengan imbalan gerakan nasionalisme di kalangan Tionghoa harus dibatasi dan dikekang.
Hasil ketelitian dan kecermatan penulis dalam menggali sumber tertulis maupun lisan menghasilkan satu kajian lokal peranan masyarakat Tionghoa pada awal abad ke-20 di salah satu kota besar di Indonesia. Suatu hal yang patut dihargai untuk lebih dapat memahami peranan sejarah hubungan komunitas Tionghoa dengan komunitas lainnya di Nusantara, seperti halnya penerbitan ulang buku Indonesia dalam Api dan Bara, karya Tjamboek Berdoeri (Kwee Thiam Tjing) yang menggambarkan situasi kota Malang tahun 1939 hingga 1947.
Terlepas dari uniknya sejarah masing-masing komunitas Tionghoa di Indonesia tampaknya mereka masih mendapat perlakuan diskriminatif, misalnya dalam Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Penghapusan diskriminasi setelah Keppres No 56 tahun 1996 dan Inpres No 4 tahun 1999 sepertinya tidak efektif. Hal tersebut mungkin karena tidak jelasnya siapa (baca: lembaga mana) yang harus melakukannya. Apakah hanya tugas Departemen Kehakiman dan HAM semata?
Akhirnya kita semua pun harus dapat belajar dari sejarah untuk tidak mengulangi prasangka rasis gila yang menurut seorang prajurit Belanda di awal abad ke-20 dalam Gedenkschrift van een oud koloniaal sebagai hal yang menggelikan dan ide tolol.