Kota Tangerang mempunyai perjalanan sejarah tersendiri yang berhubungan dengan budaya Tionghoa. Kota yang dibelah oleh Sungai Cisadane ini, mempunyai kekhasan tersendiri menyangkut warga keturunan Tionghoanya, mereka dikenal dengan sebutan Cina Benteng. Kedatangannya sejak tahun 1700-an meninggalkan beberapa jejak penting yang sekarang masih dijaga kelestariannya.
Bersama dengan komunitas Historia, akhir Februari lalu penulis menyambangi beberapa situs budaya dan sejarah Tiong Hoa yang ada di kota Tangerang. Berkeliling menggunakan angkot, sambil ditemani udara panas Kota Tangerang, Perjalanan dimulai dari pukul sepuluh pagi hingga pukul tiga sore.
Klenteng Boen San Bio
Klenteng yang mempunyai nama lain Vihara Nimmala ini berada di kawasan Pasar Baru. Dengan usia 300 tahun, klenteng ini telah melalui berbagai perbaikan dan renovasi, terlebih sejak terjadinya kerusuhan 1998. Awalnya pada tahun 1689 klenteng ini hanyalah bangunan sederhana yang terdiri dari dinding Gedeg, tiang Bambu dan atap daun Rumbia.
Tepat bersebelahan dengan klenteng ini adalah Pura Kerta Jaya. Pura ini didirikan tahun 1988, kedua tempat ibadah ini merupakan gambaran toleransi akan keberagaman antar umat beragama di kota industri ini.
Klenteng Tjong Tek Bio dan Kampung Sewan Kongsi
Dari klenteng Boen San Bio, berlanjut ke klenteng Tjong Tek Bio. Nama lain dari klenteng ini adalah Vihara Maha Bodhi, berdiri pada tahun 1830, berada di daerah bernama Sewan Kongsi. Kampung Sewan sendiri berasal dari kata Sewaaan, wilayah kampung ini dulu disewakan kepada warga etnis Tionghoa untuk tempat tinggal dan berkebun.
Berada di dekat bendungan Pintu air 10, rumah – rumah di kampung ini masih banyak yang bergaya Tionghoa. Dengan pintu terletak di tengah diapit jendela, kusen bagian atas pintu selalu ditempelkan kertas berupa sajak dalam bahasa China yang biasa disebut Tuilian. Selain itu ada juga tulisan China yang ditulis diatas kertas berwarna merah atau kuning yang biasa disebut Hu, fungsinya sebagai penolak Bala.
Di belakang kampung ini,terlihat Bendungan Pintu Air 10 berdiri megah. Bendungan yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda ini dibangun pada tahun 1927 dan mulai dioperasikan pada tahun 1932. Disebut Bendungan Pintu Air 10 karena memang pada bendungan ini terdapat 10 buah pintu air yang dibuka tutup secara bergantian tergantung debit air sungai Cisadane. Bedungan ini dahulu berfungsi selain sebagai pengatur debit air sungai Cisadane juga sebagai sumber pengairan untuk 1.500 ha sawah kala itu.
Klenteng Tjo Su Bio dan kelenteng Boen tek Bio
Semakin siang, perjalanan dilanjutkan ke klenteng tua lainnya. Klenteng Tjo Su Bio berdiri pada tahun 1946, terletak di kampung Rawa Kucing . Tidak banyak yang istimewa dari klenteng ini, kecuali adanya patung Dewa Kera Sung Go Kong yang langsung jadi spot menarik untuk berfoto.
Lain dengan klenteng Boen Tek Bio, Boen berarti sastra, Tek artinya kebajikan dan bio artinya kelenteng. Tempat ini merupakan klenteng tertua di Kota Tangerang, berdiri pada tahun 1684. Dibangun atas atas bantuan secara gotong royong warga petak sembilan yang ada di Batavia. Di kompleks klenteng ini juga berdiri vihara Padumutara. Klenteng yang berada di kawasan Pasar Lama ini mempunyai tradisi selama ratusan tahun, yaitu ritual gotong Toapekong, patung –patung dewa dan perayaan Pe’cun. Lilin – lilin raksasa berdiri sebesar tubuh manusia di halaman depan, di sisi kiri dan kanan klenteng ini, terdapat ruang – ruang tempat berdoa dengan patung – patung dewa dewi yang berbeda – beda. Dewi Kwan Im adalah tuan rumah dari klenteng ini.
Dari klenteng tertua, kami pun beranjak menuju stasiun untuk kembali ke Jakarta. Puas rasanya berpanas –panas ria sambil menikmati warna – warni kelenteng, yang juga warna – warni kehidupan di Kota Tangerang.